Maraknya pembentukan kabupaten baru di seluruh pelosok negeri juga mengemuka di kalangan masyarakat Pringsewu yang kini menjadi bagian dari Kabupaten Tanggamus, Lampung.
Melihat kondisi Pringsewu dari segi infranstruktur maupun suprastruktur masyarakatnya dapat dinilai mencukupi dengan berbagai bangunan pelayanan umum, pusat perbelanjaan, dan sentral pendidikan di Kabupaten Tanggamus. Pringsewu juga mampu memberikan dana Rp5 miliar per tahun (Firman Muntako, Asisten I Pemkab Tanggamus).
Bahkan, jika Pringsewu harus dibanding dengan Kotaagung sebagai ibu kota kabupaten Tanggamus, hampir semua orang di Kabupaten Tanggamus akan mengatakan Pringsewu jauh lebih maju dari Kotaagung.
Oleh sebab itu, pertanyaannya adalah bukan apakah Pringsewu siap atau tidak menjadi kabupaten baru, tetapi lebih baik menjadi kabupaten ataukah akan lebih baik jika menjadi kota administratif saja dengan kepemimpinan seorang wali kota.
Pertama, jika Pringsewu menjadi kabupaten, akan ada sebagian wilayah dari Kabupaten Tanggamus yang selama ini menopang perekonomian Pringsewu beralih ke Kotaagung. Ini merupakan konsekuensi ekonomis sekaligus politis yang harus dihadapi Pringsewu. Pemerintah Kabupaten Tanggamus tentu akan mengarahkan kegiatan perekonomian yang selama ini terpusatkan di Pringsewu untuk berpindah ke Kotaagung.
Selain itu, dari sisi sebagai kota pendidikan juga akan merugikan Pringsewu karena lepasnya Pringsewu akan merangsang Pemerintah Kabupaten Tanggamus untuk membangun pusat-pusat pendidikan di Kotaagung untuk mengimbangi Pringsewu. Padahal, antara Pringsewu dan Kotaagung memiliki kekhasan sendiri-sendiri yang akan lebih baik berada dalam satu lingkup wilayah kabupaten untuk saling melengkapi satu sama lain.
Jika dilihat dari segi sumber daya alam, Kotaagung dengan berbagai daerah satelitnya lebih besar daripada Pringsewu, apalagi Kotaagung juga memiliki wilayah perairan sebagai sumber kelautan dan berpotensi menjadi pelabuhan peti kemas. Sementara itu, Pringsewu hanya unggul dari sumber daya manusianya, di mana Pringsewu akan lebih cocok jika dijadikan sebagai kota pendidikan dan bisnis.
Di Pringsewu ada sekitar 16 unit TK, 42 unit SD, 10 unit SMP, dan 14 SMK/SMA. Serta didukung sekitar delapan perguruan tinggi, di antaranya STKIP Muhammadiyah, STIE Muhammadiyah, Akper, Akbid Muhammadiyah, AMIK Startech, STMIK, Akademi Teknik Pringsewu, dan DCC Pringsewu. Dengan dukungan ini, Pringsewu akan mampu berkembang lagi menjadi kota pendidikan yang lebih maju.
Sementara itu, letak geografis Pringsewu yang strategis, mampu menjadi pintu gerbang penghubung antara Kota Bandar Lampung dan berbagai wilayah di Kabupaten Tanggamus. Kondisi ini sangatlah mendukung Pringsewu untuk menjadi pusat penghubung aktivitas bisnis di Kabupaten Tanggamus.
Kedua, jika Pringsewu yang kini statusnya masih merupakan kecamatan kemudian diarahkan untuk menjadi kotamadya dengan kepemimpinan seorang wali kota, akan banyak konsekuensi positif, khususnya secara ekonomi yang dapat dinikmati masyarakat Pringsewu.
Keuntungan pertama, berubahnya status Pringsewu dari kecamatan menjadi kota administratif atau kotamadya akan memudahkan urusan administrasi, sehingga masyarakat Pringsewu tidak perlu jauh-jauh mengurusnya ke Kotaagung yang membutuhkan cost atau biaya transportasi.
Sebab, dengan berubahnya status Pringsewu menjadi kotamadya akan menjadikan Pringsewu memiliki kekuatan status administrasi yang sama dengan Kotaagung. Perbedaannya hanya pada segi politik, yaitu Pringsewu dengan pimpinan wali kota tidak dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sifatnya politis.
Dari sisi pembauran budaya, dengan mengembangkan Pringsewu menjadi kotamadya, persatuan dan kesatuan antara penduduk pendatang yang umumnya bersuku bangsa Jawa dan mayoritas berdomisili di wilayah Pringsewu dan penduduk asli yang mayoritas berdomisili di Kotaagung akan tetap terjaga dan harmoni, sehingga konsep Sang Bumi Ruwa Jurai tidak terkotak-kotak oleh pemekaran-pemekaran kabupaten.
Kita harus percaya bahwa suatu saat, seiring berkembangnya pemahaman masyarakat terhadap demokrasi dan tingkat pendidikan yang makin maju, dengan sendirinya masyarakat akan memilih pemimpin yang betul-betul kredibel, bukan karena bersuku bangsa Lampung, bukan pula bersuku bangsa Jawa atau lainnya, melainkan betul-betul mampu membawa perubahan yang lebih baik.
Keuntungan lain adalah Pringsewu akan terbebas dari biaya ketidakpastian politik yang syarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Asumsinya, jika ide pembentukan kabupaten berasal dari para politisi, Pringsewu akan menderita biaya demokrasi yang menggunung akibat dasar pembentukan kabupaten yang lebih besar nuansa haus kekuasaannya daripada pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Pringsewu.
Sayangnya, ide pembentukan kabupaten datang dari para politisi, kenapa saya katakan demikian. Setidaknya sejak tahun 1995, berbagai spanduk besar dan baliho yang dipasang di sudut-sudut Pringsewu bertuliskan “Pringsewu menuju kota administratif” dan “Pringsewu menuju kotamadya”.
Hal ini menunjukkan masyarakat Pringsewu tidak pernah bercita-cita membentuk kabupaten sendiri. Mereka tidak pernah bermimpi Pringsewu menjadi kabupaten sendiri, bahkan sejak wilayah Tanggamus masih berada dalam Kabupaten Lampung Selatan.
Sehingga, apa yang dikatakan Fauzan Sya’ie, Bupati Tanggamus, bahwa pada saat pemekaran Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 1997 sudah ada wacana pembentukan Pringsewu menjadi kabupaten disinyalir mengandung nuansa politis. Sesungguhnya Fauzan ingin mengucapkan terima kasihnya secara implisit kepada para politisi Pringsewu, atas terpilihnya Fauzan sebagai bupati Tanggamus dan dijadikannya Kotaagung sebagai ibu kota kabupaten, sekaligus usaha meraih simpati pada pilkada mendatang.
Dalam tulisan ini, penulis ingin mengemukakan sesungguhnya untuk memajukan suatu wilayah tidak harus dengan pembentukan kabupaten baru, tetapi bisa dengan pembentukan kotamadya. Dengan mempertimbangkan berbagai aspek sumber daya alam, geografis maupun sumber daya manusianya, serta hubungannya dengan wilayah lain. Hal ini sejalan dengan yang diinstruksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 2007, yang meminta setiap provinsi untuk meredam berbagai upaya pemekaran daerah yang muncul.
Kita dapat belajar dari kabupaten-kabupaten yang ada di wilayah Jawa. Sebuah kabupaten yang sudah maju, kemudian melahirkan bagian wilayah yang juga layak infrastruktur dan suprastrukturnya setara dengan ibu kota kabupaten, kemudian dijadikan sebagai kotamadya yang dipimpin seorang wali kota. Sebagai contohnya, wilayah Batu di Kabupaten Malang karena berbagai kelebihan dan kelayakannya tidak harus dipisahkan menjadi kabupaten sendiri, tetapi cukup dikembangkan menjadi kotamadya.
Dengan demikian, biaya demokrasi dan politik yang besar, untuk mengurusi pemilihan kepala daerah dapat dialokasikan untuk membiayai pembangunan daerah. Kita bisa bayangkan jika miliaran rupiah harus dikeluarkan setiap lima tahun untuk ongkos pilkada yang belum jelas hasilnya. Akan tetapi, jika miliaran rupiah kita gunakan untuk pembagunan daerah, akan sangat terasa manfaatnya.
Sudah saatnya kita mampu berpikir efektif dan efisien dalam mengusahakan pembangunan daerah, tidak hanya dengan jawaban-jawaban yang sederhana, yaitu pemekaran, pemekaran, dan pemekaran. Pringsewu dapat terus maju termasuk pula daerah-daerah lainnya di Provinsi Lampung tanpa harus melalui pemekaran kabupaten baru.
Penulis: Reliyadi (Mahasiswa Universitas Jember, Jawa Timur, asal Pringsewu)
Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Rabu, 7 November 2007
Hi, this is a comment.
To delete a comment, just log in, and view the posts’ comments, there you will have the option to edit or delete them.